Sabtu, September 14, 2024
Aparat

Jaksa dan penyidik peras tersangka

Dugaan pemerasan oleh jaksa di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, kepada keluarga tersangka kasus narkoba, disebut lembaga riset hukum ICJR menjadi bukti bahwa kasus penyalahgunaan narkotika selama ini dimanfaatkan aparat penegak hukum untuk menjadi “ladang uang”.

Caranya beragam mulai dari tawar-menawar pasal, usulan untuk direhabilitasi, hingga penjatuhan vonis oleh hakim, kata ICJR.

Untuk kasus di Sumatera Utara, jaksa EKT diduga memeras keluarga korban sebesar Rp80 juta agar tersangka bebas dari tuduhan.

Perkembangan terkini, Kejaksaan Agung telah mencopot pelaku untuk diperiksa. Jika terbukti melakukan tindak pidana, akan diproses hukum.

Beberapa waktu lalu, sebuah video yang merekam percakapan antara seorang jaksa di Kejaksaan Batu Bara berinisial EKT dengan seorang ibu tersangka kasus narkoba viral di media sosial.

Di situ, jaksa dan sang ibu terdengar sedang ‘tawar-menawar uang penanganan’ agar anaknya bebas dari sangkaan kepemilikan narkoba.

Si ibu yang diketahui merupakan guru Sekolah Dasar di Kabupaten Batu Bara mengaku, dia tidak mempunya uang sebesar Rp80 juta seperti yang diminta jaksa tersebut.

Dia hanya bisa memberikan tambahan Rp5 juta pada hari itu, setelah beberapa kali menyetor uang hingga sebesar Rp30 juta.

“Saya kasih lunas ini adanya Rp5 juta saya kirim. Pertama sama ibu Rp20 juta kan, tambah Rp5 juta lagi, sekarang tambah Rp5 juta. Jadi Rp30 juta,” ujar ibu tersangka kepada jaksa.

Mendengar pernyataan ibu itu, jaksa EKT nampak kecewa.

Kayak mana kubilang, ini kubantu bu,” kata jaksa EKT.

Ibu tersangka narkotika lantas menyerahkan uang ratusan ribu kepada jaksa tersebut sembari menangis.

Kuasa hukum korban dugaan pemerasan, Tomy Faisal, berkata anak korban MR ditangkap pada 12 Januari 2023 atas tuduhan kepemilikan narkoba sebesar 1,6 gram sabu.

Korban lantas menceritakan kasus penangkapan sang anak ke Aiptu FZ yang bertugas di Polres Batu Bara yang merupakan tetangganya.

Tomy mengatakan, korban juga diduga diperas oleh anggota penyidik Polres Batu Bara berinisial DS.

Ketika itu, korban dimintai uang Rp3 juta pada 15 Januari 2023 -yang disebut untuk mengamankan sepeda motor MR.

“Karena anak korban ditangkap saat membawa sepeda motor. Kalau tidak diurus nanti bisa disita negara, dianggap terlibat, jadi dikasih Rp3 juta,” jelas pengacara korban Tomy Faisal seperti dilansir Kompas.com.

Kemudian pada 12 Maret 2023, Bripka DS dan penyidik lainnya yaitu Aipda DI, kembali meminta uang Rp10 juta kepada korban supaya anak MR dikenakan pasal 127 atau pengguna narkotika.

“Ibu [korban] ini bingung dari polisi pertama [Aiptu FZ] katanya pecah berkas, sudah dikasih Rp8 juta, penyidik ini bilang, ‘Kami tidak mau tahu kan kami penyidiknya’,” ujar Tomy.

“Pokoknya kami minta Rp10 juta,” sambungnya.

Tomy berkata, pihaknya telah melaporkan polisi tersebut ke Propam Polda Sumatera Utara.

Namun demikian, tuduhan pemerasan oleh penyidik itu disangkal Kapolres Batu Bara, Jose DC Fernandes. Ia berkukuh bahwa penyelidikan kasus tersebut telah sesuai prosedur.

Adapun Kejaksaan Agung menyebut telah mencopot jaksa EKT yang diduga melakukan pemerasan.

Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, pun telah meminta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara agar memproses hukum EKT.”Kalau dalam pemeriksaan pengawasan ditemukan unsur tindak pidana pemerasan atau permintaan sejumlah uang, nanti akan diarahkan ke tindak pidana,” imbuh Kapuspenkum Kejagung, Ketut Sumedana kepada wartawan.

Mengapa terjadi pemerasan?

Peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Girlie Ginting, berkata pemerasaan oleh aparat penegak hukum kepada pengguna narkotika sudah menjadi rahasia umum.

Pemerasan dapat terjadi di setiap tahapan proses hukum. Mulai dari penangkapan, penyelidikan, tuntutan, hingga vonis hakim.

Di proses penangkapan dan penyelidikan, polisi disebut kerap membuka peluang negosiasi dengan menjerat pengguna dengan pasal di UU Narkotika yang ancaman hukumannya berat.

Seperti pasal 112 dan 114 yang menyasar bandar, pengedar, atau kurir dengan ancaman hukumannya 12 tahun penjara.

Padahal semestinya pengguna narkotika dikenakan pasal 127 yakni sanksi rehabilitasi.

Di tahap penuntutan, jaksa disebut menawarkan pengubahan pasal yang didakwakan.

Lalu di persidangan, hakim diduga memberi tawaran pengguna narkotika apakah mau dikenakan vonis ringan atau berat. Padahal Mahkamah Agung telah mengeluarkan surat edaran nomor 4 tahun 2010 yang menjadi panduan hakim dalam memutus perkara penyalahgunaan narkoba.

Yang mana, pecandu harus dijatuhkan sanksi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

“Tidak banyak yang menggunakan SEMA itu, bahkan hakim jarang merujuk surat edaran tersebut,” jelas Girlie kepada BBC News Indonesia, Selasa (16/05).

“Hal itu memberi ruang untuk aparat memanfaatkan pengguna menjadi ladang uang.”

Itu mengapa, ICJR mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi UU Narkotika yang menurut mereka “sangat represif” kepada pengguna lantaran kerap memenjarakan penyalahguna narkoba.

Sehingga dampaknya, penjara kelebihan kapasitas.

Data ICJR pada 2022 menunjukkan, tindak pidana narkotika dan pidana umum menjadi dua kasus yang memenuhi penjara di Indonesia.

Dalam revisi UU narkotika, salah satu yang didorong ICJR adalah dekriminalisasi pengguna narkoba.

“Jadi kalau ada pengguna yang menggunakan narkotika di bawah ambang batas tertentu akan diserahkan ke tenaga kesehatan untuk diperiksa. Intinya pengguna sebisa mungkin menghindari pendekatan hukum,” sambung Girlie.

“Setelah dilakukan asesmen oleh tenaga kesehatan Kemenkes akan direkomendasikan pengobatan yang diperlukan.”

Menurut Girlie, dekriminalisasi menjadi satu-satunya solusi menghilangkan praktik pemerasaan oleh aparat penegak hukum kepada pengguna narkotika.

Lebih dari itu, tanpa ada perubahan kebijakan peredaran gelap narkotika sulit dihentikan.

“Kalau hanya berfokus pada penegakan hukum, perdagangan narkotika atau pasar peredaran gelap akan terus berada di tangan sindikat.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *