David Gen Gurian tokoh proklamator penjajah israel di negara Palestina
Pada hari itu, Mandat Inggris atas Palestina secara hukum telah berakhir; pasukan Inggris belum juga pergi dan Amerika Serikat menekan Ben-Gurion untuk menunda proklamasi.Namun Ben-Gurion bertekad untuk mewujudkan apa yang disebutnya sebagai “hak alami orang-orang Yahudi untuk menentukan nasib mereka sendiri, bersama dengan semua bangsa lain, dalam negara berdaulat mereka sendiri,” sebagaimana dinyatakan dalam dokumen itu.
Dia telah mempersiapkan draf pertama dua pekan sebelumnya. Setelah beberapa kali direvisi oleh tokoh-tokoh agama dan sekuler, Ben-Gurion bertanggung jawab untuk memfinalisasi naskah itu.
Dia juga membentuk dewan yang akan memproklamirkan eksistensi negara Israel dan memerintah di awal pembentukannya, dengan perwakilan dari berbagai gerakan pembebasan nasional.
Jejak langkahnya ada pada setiap proses menuju pembentukan negara Israel dan akan terus berlangsung di kemudian hari ketika ia mengambil alih kendali negara sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan.
Itulah sebabnya dia dikenang di Israel sebagai “bapak bangsa”.
Dari nama Gruen menjadi Ben-Gurion
David Gruen – nama yang dia gunakan selama 24 tahun sebelum diubah menjadi Ben-Gurion – lahir di Polandia, saat dikuasai Tsar (kekaisaran) Rusia pada tahun 1886.
Dia tumbuh dewasa saat pandangan anti-Semitisme di Eropa, yaitu sikap prasangka atau permusuhan terhadap orang Yahudi, menancap begitu mendalam.
Dia pun tertarik pada cita-cita gerakan Zionis – mencari wilayahnya sendiri untuk orang-orang Yahudi – yang baru lahir saat itu, Ayahnya menjadi pemimpin gerakan di kota Płońsk.
Pada 1906 David Gruen beremigrasi ke wilayah Palestina yang saat itu dikuasai Ottoman dan menjadi petani di sana.
Dia mempraktikkan filosofi yang akan menginspirasi Zionis selama empat dekade berikutnya.
Idenya adalah mengolah tanah dengan tangan mereka sendiri untuk menciptakan “orang Yahudi baru”, berbeda dari mereka yang dilatih selama berabad-abad saat menjadi diaspora dengan melakukan pekerjaan non-manual.
Dia mendedikasikan dirinya untuk hal itu, dengan bangga, meskipun dia segera menyadari bahwa takdirnya ada di dunia politik, bukan di pertanian.
Misinya, di atas segalanya, adalah untuk mencapai kemerdekaan politik bagi orang-orang Yahudi di negeri itu, sebagaimana dicatat dalam deklarasi partai sosialis pada tahun 1907 yang berafiliasi dengannya, Poale Zion.
Untuk mempersiapkan peran politiknya, Ben-Gurion belajar hukum di Turki, yang dia yakini bisa menjadi sekutu Israel di masa depan, tetapi ketika Perang Dunia Pertama pecah, dia diusir dari Kekaisaran Ottoman.
Dia lalu melakukan perjalanan ke New York, di mana dia menikah dengan Pauline Munweis dan terus mempromosikan tujuan Zionis, sampai pemerintah Inggris menerbitkan Deklarasi Balfour pada tahun 1917, yang menjanjikan rumah nasional bagi orang Yahudi.
Tak lama kemudian, Ben-Gurion mendaftar di Legiun Yahudi Angkatan Darat Inggris dan berlayar kembali ke Timur Tengah untuk bergabung dalam perang pembebasan Palestina dari kekuasaan Ottoman.
Pada saat legiun itu tiba, Inggris telah mengalahkan Ottoman dan, di bawah pemerintahan mereka, upaya untuk menciptakan rumah nasional bagi orang Yahudi dimulai.
Pilar-pilar bangunan negara Israel
Sesuai dengan keyakinannya bahwa buruh akan menjadi dasar berdirinya negara Yahudi, Ben-Gurion mendirikan Federasi Umum Pekerja Tanah Israel atau Histadrut pada tahun 1920.
Organisasi ini dengan cepat akan menjadi semacam negara di bawah mandat Inggris, yang meluas ke bidang perbankan, perencanaan kesehatan, kebudayaan, pertanian, olah raga, pendidikan, asuransi, transportasi, agen tenaga kerja, kelompok dan segala jenis koperasi lainnya.
Hal ini tidak hanya menjadi elemen kunci dalam pembentukan Israel tetapi juga salah satu pilar hingga tahun 1980-an, ketika negara tersebut mulai beralih dari ekonomi sosialis.
Ben-Gurion selanjutnya mendorong pengembangan kekuatan militer di Palestina.
Ketika Perang Dunia Kedua pecah, ia mendorong orang-orang Yahudi untuk berperang membela Sekutu, sambil mengorganisir sebuah agen rahasia untuk menyelundupkan orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari Holocaust Nazi.
Latar belakang konflik Israel-Palestina:
Setelah perang, aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Yahudi dalam menentang Inggris, yang bertahun-tahun sebelumnya telah mengubah pikiran mereka dan menghalangi populasi Yahudi, meningkat.
Meskipun Ben-Gurion mendukung prinsip perjuangan bersenjata, dia mengutuk kelompok sayap kanan yang melakukan tindakan kejam dan tak pandang bulu.
Setelah kemerdekaan tercapai, dia mendesak agar semua kelompok bersenjata dibubarkan dan menjadi bagian dari Pasukan Pertahanan Israel.
Kekuatan baru ini segera beraksi, memerangi dan mengalahkan tentara negara-negara Arab yang berusaha menyerang negara baru itu.
Di semua lini
Pada 14 Mei 1948, Yerusalem dikepung oleh Legiun Arab Transyordania; Di utara, pemukiman Yahudi diserang oleh pasukan Suriah dan Irak, sementara Mesir menyerbu dari selatan.
Ini adalah ujian terbesar yang dihadapi pemimpin berusia 62 tahun itu dengan mengambil alih komando operasi militer, dan secara de facto menjadi perdana menteri dan menteri pertahanan.
Meski beberapa keputusannya menimbulkan pertanyaan, pada akhirnya Ben-Gurion dipenuhi dengan kejayaan karena telah memenangkan kampanye Yahudi pertama sejak perlawanan Yudas Maccabeus 2.000 tahun sebelumnya.
Hal ini membuatnya menjadi sosok yang disegani bagi banyak orang: seorang patriark bijak yang akan menjamin kelangsungan negara dengan kemenangan atas banyak musuhnya.
Namun berkat bagi sebagian orang merupakan kecaman bagi sebagian lainnya.
Bagi warga Arab Palestina yang menolak pembagian wilayah yang disetujui PBB, ini adalah awal dari Nakba, malapetaka yang mereka alami sejak itu.
Sebelum perang tahun 1948, sekitar 1,4 juta warga Palestina tinggal di Palestina wilayah mandatori Inggris, dan 900.000 di antaranya tinggal di wilayah yang menjadi negara Israel.
Mayoritas dari populasi tersebut, antara 700.000-750.000 orang, secara aktif diusir atau melarikan diri ke luar perbatasan – ke Suriah, Lebanon, Mesir atau Transyordania – atau ke wilayah yang dikuasai oleh tentara Arab yang terlibat dalam perang (Tepi Barat dan Jalur Gaza).
Dengan aturan yang begitu ketat, mereka yang keluar tidak pernah diizinkan kembali ke rumah dan tanah mereka, sebuah kebijakan Israel yang dibuat selama perang.
Nakba bagi rakyat Palestina adalah sebuah proses yang tidak pernah berakhir, dan selama tahun-tahun pertama, orang yang memimpin keputusan yang berdampak pada mereka itu adalah Ben-Gurion.
Setelah Perang Kemerdekaan, Ben-Gurion mengadopsi kebijakan pembalasan yang cepat dan keras terhadap serangan Arab ke Israel, yang sering kali membuat khawatir PBB dan terus memperkuat penolakan dari negara-negara tetangga.
Pada Maret 1949, dia secara resmi menjadi perdana menteri dalam pemerintahan pertama Israel.
Sejak saat itu hingga tahun 1960-an, ia memimpin kehidupan politik di Israel dengan kendali yang hampir penuh, meski memiliki beberapa musuh politik, terutama karena ia adalah seorang sosialis dan sekuler.
Namun, Ben-Gurion mempunyai popularitas yang sangat tinggi, hampir seperti ‘pemujaan’, di antara banyak kelompok di negara ini. Sehingga, kewenangannya dalam memutuskan urusan pertahanan dan juga urusan luar negeri selalu diterima.
Beberapa kali, ketika dia tidak dapat meyakinkan koalisi untuk melaksanakan keinginannya, dia mengundurkan diri dan pergi ke pondoknya di Kibbutz Sde Boker. Namun sering kali juga dia cukup mengeluarkan ancaman demi mendapatkan yang diminta.
Hanya ada satu kejadian pada tahun 1953 ketika dia menyatakan dirinya “lelah, lelah, lelah” dan pensiun selama 14 bulan, hingga dia diminta kembali ke Yerusalem sebagai menteri pertahanan.
Tak lama kemudian, pada November 1955, ia kembali menjadi perdana menteri.
Saat itulah Israel mengambil kebijakan yang berujung pada perang lagi, dan momen tergelap dalam karier Ben-Gurion.
Kekalahan dan kemenangan
Dia meyakini bahwa ancaman terbesar Israel adalah serangan yang akan segera diluncurkan oleh Mesir, yang telah menerima senjata dari Uni Soviet dan berkolusi dengan Perancis serta Inggris, dia melancarkan “perang preventif” melawan tentara Mesir.
Pasukan Perancis dan Inggris, yang ingin merebut Terusan Suez, pada awalnya menang, namun Amerika menentang agresi tersebut dan mendukung permintaan PBB agar semua penyerbu pergi dari Mesir.
Hal ini, ditambah ancaman campur tangan Uni Soviet, menyebabkan seluruh rencana gagal dengan cara yang, paling tidak, memalukan.
Ben-Gurion mencoba untuk mendesak dilakukannya konsesi, tetapi dia menemui jalan buntu dan tidak punya pilihan selain menerima kekalahan yang kemudian bisa dia selamatkan berkat ketangguhannya.
Empat tahun kemudian, Ben-Gurion kembali menentang opini dunia ketika dia memutuskan untuk mengadili Adolf Eichmann, kolonel Gestapo yang telah mengirim jutaan orang Yahudi ke kamp kematian selama Perang Dunia II.
Penculikan pemimpin Nazi di Argentina memicu kritik, dan kemungkinan dia diadili di Israel, menimbulkan kekhawatiran: ada protes bahwa Eichmann hanya bisa mendapatkan pengadilan yang adil di pengadilan Jerman atau internasional.
Ben-Gurion dituduh arogan ketika dia menyatakan bahwa Israel “dari sudut pandang moral” adalah satu-satunya tempat di mana Eichmann dapat dihakimi.
Kali ini, bukti lah yang membebaskan Ben-Gurion dari pandangan negatif.
Persidangan tersebut disiarkan di televisi pada tahun 1961 dan dunia dapat melihat para hakim melakukan tugasnya dengan sempurna sehingga Robert Servatius, pengacara Eichmann yang berkebangsaan Jerman, mengakui bahwa terdakwa mendapatkan persidangan yang lebih adil dibandingkan di Jerman Barat.
Status mulia Ben-Gurion di negaranya meningkat.
Tampak bahwa pemerintahannya, betapapun kontroversialnya, tidak akan berakhir.
Namun pada akhirnya, negarawan yang menjabat terlalu lama akan mengalami nasib yang pahit: kesalahan masa lalu kembali menghantui mereka, dan para pengikut mereka yang sudah muak berkata ‘cukup’.
Pada tahun 1963, ia mengundurkan diri sebagai perdana menteri.
Selama tahun-tahun terakhirnya sebagai perdana menteri, dia sekali lagi mengulurkan tangannya “kepada semua negara tetangga dan rakyat mereka dalam tawaran perdamaian dan hubungan bertetangga yang baik”, seperti yang dia katakan dalam Deklarasi Kemerdekaan.
Namun upaya ini tetap meluas, karena, meskipun ia memprakarsai beberapa rencana untuk mengadakan pembicaraan rahasia dengan para pemimpin Arab dengan tujuan membangun perdamaian di Timur Tengah, tidak ada yang membuahkan hasil.
Ia akhirnya pensiun dari dunia politik ketika berusia 84 tahun, pada tahun 1970.
Ben-Gurion mampu melihat tanda-tanda trauma internal yang nantinya akan menimpa Israel.
Setelah perang tahun 1967, ia menentang mempertahankan wilayah Arab di luar Yerusalem.
Ketakutan akan Perang Yom Kippur pada tahun 1973, ketika serangan gabungan pasukan Mesir dan Suriah di dua wilayah berbeda membuat Israel tidak siap, dalam pandangan Ben-Gurion, merupakan tanda arogansi dan rasa berpuas diri yang berbahaya.
Bagi seorang pria yang terobsesi dengan cita-cita kerja keras, itu adalah sifat yang menjijikkan.
Dia meninggal dua bulan setelah berakhirnya perang itu pada usia 87 tahun.
Dia, pada akhirnya, adalah seorang pria dengan energi yang luar biasa, secara fisik dan intelektual, “sangat lincah,” menurut penulis Israel Amos Oz.
Dia berbicara bahasa Rusia, Yiddish, Turki, Prancis, dan Jerman. Dia membaca bahasa Arab dan belajar bahasa Spanyol.
Pada usia 56 tahun dia belajar bahasa Yunani untuk membaca Septuaginta, Perjanjian Lama versi Yunani; Pada usia 68 tahun, ia belajar bahasa Sansekerta untuk membaca Dialog Buddha.
Dia melakukan yoga di pasir Mediterania, dan meskipun foto-foto yang menunjukkan posisi dia terbalik memicu komentar ironis, teman-temannya mengatakan bahwa ‘Hazaken atau Pak Tua’, begitu dia disapa, lebih pintar dari kebanyakan lawannya.
Seiring berlalunya waktu, kritik terhadap Ben-Gurion memudar, dan citranya yang mengesankan karena memiliki visi dan memberikan kontribusi nyata, tetap ada.
Namun karena hidup Ben-Gurion sangat erat kaitannya dengan pembentukan negara Israel, ia menjadi sosok yang dicintai namun juga dibenci.